Jumat, 15 Januari 2016

REACT, Zone Of Proximal Development (ZPD) Dan Scaffolding




DASAR – DASAR PEMBELAJARAN MATEMATIKA
“ REACT, Zone Of Proximal Development (ZPD) Dan Scaffolding”
Dosen Eka Resti Wulan, M.Pd



 











Oleh :
MOCH. LAILUL AFFANDI (131003275)
HERIS (1310032   )

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
( STKIP PGRI ) LUMAJANG
Jl. Pisang Gajih 02 Telp. ( 0334 ) 882467 Lumajang
REACT

Di dalam proses pembelajaran, munculnya kesulitan untuk memahami suatu konsep merupakan hal yang wajar. Ini menggambarkan bahwa anak sedang melakukan proses berpikir. Mereka berusaha untuk mengintegrasikan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Skemata atau pengetahuan awal setiap siswa tidaklah sama sehingga kesulitan yang dihadapi setiap anak pun tidaklah selalu sama. Sebagai seorang guru atau orang yang membimbing mereka belajar, sebaiknya kita dapat mengenali dan memahami kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh anak. Karena jika dibiarkan kesulitan tersebut tidak lagi menjadi sebuah kewajaran, melainkan suatu masalah yang dapat menghambat perkembangan intelektual anak.
Kondisi yang terjadi kini selain karena konsep matematika itu bersifat abstrak, sebagian besar anak juga tidak mampu menyelesaikan beberapa tahap yang tidak ia kuasai, semakin lama semakin bertumpuk kemudian muncullah persepsi di dalam diri anak bahwa mata pelajaran matematika itu sangat sulit. Nilai-nilai rendah yang diperoleh sebagian besar siswa merupakan bukti nyata bahwa mata pelajaran matematika memang dirasakan sulit. Ketika fenomena ini diketahui oleh orang tua atau guru-guru, mereka sering menganggap bahwa nilai yang rendah tersebut merupakan dampak dari kemalasan anak dalam belajar. Untuk itu orang tua harus ekstra dalam mengawasi dan menjadi teman dalam kegiatan belajarnya dan guru harus mempunyai kegiatan secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.
Dalam pembelajaran, terdapat model – model pembelajaran yang digunakan guru untuk mencapai tujuan kurikulum pendidikan, salah satu model pembelajaran yang membahas mengenai tingkat kesulitan anak serta konsep pemberian bantuan adalah teori pembelajaran kontruktivisme dan model pembelajaran Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, dan Transferring (REACT)  merupakan pengembangan dari teori pembelajaran Kontekstual.
Model pembelajaran REACT adalah model pembelajaran yang dapat membantu guru untuk menanamkan konsep pada siswa. Siswa diajak menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya, bekerja sama, menerapkan konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan mentransfer dalam kondisi baru (Sri Rahayu dalam Yuliati, 2008:60).
Berdasarkan hasil penelitian, model REACT efektif meningkatkan kemampuan dan hasil belajar siswa. Hal didasarkan pada 5 kriteria yang menyatakan efektivitas model REACT. Kriteria efektivitas model REACT tersebut adalah:
·       Siswa dapat mentransfer pengetahuan yang diperoleh di sekolah dalam kehidupan sehari-hari dan dunia kerja
·       Siswa tidak takut pada mata pelajaran matematika dan IPA (fisika, kimia, dan biologi)
·       Siswa lebih tertarik dan termotivasi serta memiliki pemahaman yang lebih baik pada materi yang diajarkan di sekolah karena pembelajaran dilaksanakan dengan mengaktifkan siswa secara fisik dan mental
·       Materi ajar yang diajarkan di sekolah memiliki koherensi dengan pendidikan yang lebih tinggi (perguruan tinggi)
·       Hasil belajar siswa yang diperoleh dengan REACT lebih baik daripada pembelajaran tradisional.
Model pembelajaran REACT merupakan pengembangan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan terjemahan dari Contextual Teaching and Learning (CTL). Pembelajaran kontekstual secara resmi diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 2001. Pada tahun 2002 dilakukan uji coba di 31 SLTP/MTs yang tersebar di enam provinsi. Dari hasil uji coba terindikasi pembelajaran kontekstual mampu meningkatkan interaksi belajar di kelas, membuat siswa lebih termotivasi dalam belajar dan siswa lebih bisa berpikir kritis. Oleh karena itu telah diambil kebijakan untuk meluaskan penerapan pembelajaran kontekstual di seluruh Indonesia.
Langkah-langkah model pembelajaran REACT tercermin dari akronimnya. Langkah-langkah tersebut adalah Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, dan Transferring. Sintaks Pelaksanaan Model REACT ditunjukkan pada Tabel berikut
Tabel Sintaks Pelaksanaan Model REACT
Fase-Fase
Kegiatan
Relating
Guru menghubungkan konsep yang dipelajari dengan materi pengetahuan yang dimiliki siswa
Experiencing
Siswa melakukan kegiatan eksperimen (hands-on activity) dan guru memberikan penjelasan untuk mengarahkan siswa menemukan pengetahuan baru
Applying
Siswa menerapkan pengetahuan yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari
Cooperating
Siswa melakukan diskusi kelompok untuk memecahkan permasalahan dan mengembangkan kemampuan berkolaborasi dengan teman
Transfering
Siswa menunjukkan kemampuan terhadap pengetahuan yang dipelajarinya dan menerapkannya dalam situasi dan konteks baru


1.        Relating
Belajar berdasarkan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari dan menghubungkannya dengan pembelajaran di sekolah merupakan salah satu karakteristik pembelajaran kontekstual. Sebagai pengembang REACT, CORD menyatakan bahwa relating adalah bentuk belajar yang menghubungkan konsep yang dipelajarai dengan materi pengetahuan yang dimiliki siswa dalam konteks kehidupan nyata atau pengalaman nyata. Pembelajaran menjadi sarana untuk menghubungkan situasi sehari-hari dengan informasi baru yang dipelajari.
2.        Experiencing
Experiencing, yaitu belajar melalui kegiatan exploration, discovery, dan invention, merupakan hal yang utama dalam pembelajaran kontekstual. Siswa dimotivasi dengan menggunakan berbagai metode dan media pembelajaran. Proses belajar akan terjadi jika siswa dapat menggunakan alat dan bahan serta bentuk media lainnya dalam pembelajaran aktif (active learning)
3.        Applying
Penerapan konsep dan informasi dalam konteks bermakna diperlukan siswa dalam kehidupan sehari-hari dan dunia kerja. Pada pembelajaran kontekstual, penerapan konsep dilakukan pada kegiatan yang bersifat skill. Siswa tidak sekedar mempelajari suatu teori-teori tertentu saja, melainkan siswa juga dituntun untuk dapat menerapkan konsep-konsep yang sudah dipelajarinya ke dalam konteks pemanfaatannya dalam kehidupan nyata.
4.        Cooperating
Cooperating, yaitu belajar untuk berbagi pengalaman, memberikan tanggapan dan berkomunikasi dengan siswa lain, merupakan strategi pembelajaran dasar dalam pembelajaran kontekstual. Pengalaman bekerja sama tidak hanya membantu siswa belajar materi ajar, tetapi juga membantu siswa untuk selalu konsisten dengan kehidupan nyata. Kegiatan praktikum merupakan kegiatan yang esensial yang mengembangkan kemampuan bekerjasama. Siswa bekerja dengan siswa lain untuk melakukan kegiatan praktikum. Jumlah siswa yang tergabung dalam kelompok tersebut biasanya terdiri dari 3-4 siswa. Keberhasilan kegiatan praktikum dengan berkelompok membutuhkan pembagian tugas, observasi, kesempatan mengemukakan pendapat, dan diskuis. Oleh karena itu, kualitas kerja praktikum yang dilaksanakan secara berkelompok bergantung pada aktivitas dan performansi anggota kelompok. Siswa harus dapat bekerja sama baik dalam kelompok kecil maupun kelompok besar. Bekerja berpasangan atau kelompok kecil (3-4 orang) merupakan strategi yang efektif untuk mendorong siswa bekerja sama dalam tim.
5.        Transferring
Transferring pengetahuan dilakukan siswa berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya. Guru dapat mengembangkan rasa percaya diri siswa dengan membangun pengalaman belajar baru berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa. Transferring bisa diwujudkan dalam bentuk pemecahan masalah dalam konteks dan situasi baru tetapi masih terkait dengan materi yang dibahas.













Zone Of Proximal Development (ZPD)
Vygotsky mengemukakan konsepnya tentang zona perkembangan proksimal (Zone Of Proximal Development), yiatu :
"the distance between the actual developmental level as determined by independent problem solving and the level of potential development as determined through problem solving under adult guidance, or in collaboration with more capable peers " (Fauzi, 2009).
Menurutnya, perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkat yaitu, tingkat perkembangan aktual (independent performance) dan tingkat perkembangan potensial (assisted performance) dengan Zone Of Proxmal Development (ZPD). Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri. Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebayanya yang lebih berkompeten. Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial ini disebut zona perkembangan proksimal atau yang kita kenal dengan Zone of Proximal Development (ZPD).
Konsep Vygotsky mengenai  ZPD dikemukakan oleh Yustiana (2002, Saomah, 2011) digambarkan sebagai berikut.

Level of assisted performance
Difficulty of
 the tasks


 


Level of Independent Performance

Gambar 1.1 Zone of Proximal Development
Zona perkembangan proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang masih berada di dalam proses pematangan. Kemampuan-kemampuan ini akan menjadi matang apabila berinteraksi dengan orang dewasa atau berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih berkompeten.
Gagasan Vygotsky tentang zona perkembangan proksimal ini mendasari perkembangan teori belajar dan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas dan mengoptimalkan perkembangan kognitif anak. Beberapa konsep kunci yang perlu dicatat adalah bahwa perkembangan dan belajar bersifat saling terkait, perkembangan kemampuan seseorang tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, dan sebagian bentuk fundamental dalam belajar adalah partisipasi dalam kegiatan sosial.
Berpijak pada konsep zona proksimal, maka sebelum terjadi internalisasi atau sebelum kemampuan potensial terbentuk, anak perlu dibantu dalam proses belajarnya. Orang dewasa atau teman sebaya yang lebih berkompeten  perlu membantu dengan berbagai cara seperti memberikan contoh, memberikan feedback, menarik kesimpulan, diskusi, dan sebagainya dalam rangka perkembangan kemampuannya.
Vygotsky menjelaskan bahwa proses belajar terjadi pada dua tahap:
Tahap pertama terjadi pada saat berkolaborasi dengan orang lain, dan tahap berikutnya dilakukan secara individual yang di dalamnya terjadi proses internalisasi. Selama proses interaksi terjadi baik antara guru-siswa maupun antar siswa, kemampuan yang perlu dikembangkan: saling menghargai, menguji kebenaran pernyataan pihak lain, bernegoisasi, dan saling mengadopsi pendapat yang berkembang.
Maksud dari ZPD (Zone of Proximal Development) adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial yang akan dapat memudahkan perkembangan anak. Artinya, ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri, perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui perubahan yang berturut-turut dalam berbicara dan bersikap, siswa mendiskusikan pengertian barunya dengan temannya kemudian mencocokkan dan mendalami kemudian menggunakannya.


























Scaffolding
Ide penting lain dari Vygotsky adalah Scaffolding. Sebagian pakar pendidikan mendefinisikan scaffolding berupa bimbingan yang diberikan oleh seorang pembelajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus dan interaksi yang bersifat positif.
Scaffolding adalah pemberian sejumlah kemampuan oleh guru kepada anak pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab saat mereka mampu. Kemampuan yang diberikan dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah pemecahan, memberi contoh, ataupun hal-hal lain yang memungkinkan siswa tumbuh sendiri. Dari situ dapat dilihat bahwa scaffolding merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran kooperatif.
Implikasi dari teori Vygostky dalam pendidikan yaitu:
1.        Dikehendaki setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah afektif dalam zona of proximal development.
2.        Dalam pengajaran ditekankan scaffolding sehingga siswa semakin lama semakinbertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri.
Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh beberapa keuntungan:
1.        Anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.
2.        Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya daripada tingkat perkembangan aktualnya.
3.        Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramental.
4.        Anak diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang dapat dilakukan untuk tugas-tugas atau pemecahan masalah.
5.        Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih merupakan kokonstruksi, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Strategi scaffolding didasarkan pada teori Vygotsky. Menurut Vygotsky dalam Trianto (2010: 76) bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas tersebut berada dalam Zone of Proximal Development (ZPD) yaitu perkembangan sedikit di atas perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu, sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.
Pendekatan scaffolding perlu digunakan sebagai upaya peningkatan proses belajar mengajar, sehingga siswa memiliki kemampuan dalam memahami konsep materi, sikap positif juga keterampilan. Dalam pelaksanaan pembelajaran scaffolding, siswa akan diberikan tugas kompleks, sulit dan pemberian bantuan kepada siswa hanya pada tahap -tahap awal pembelajaran. Kemudian mengurangi bantuan dan memberi kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
Menurut Ibrahim dan Nur (2000: 19) Vigotsky meyakini bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan mempercayai perkembangan intelektual siswa. Bruner juga menggunakan konsep scaffolding adalah suatu proses untuk membantu siswa menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan guru, teman atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa dukungan terhadap peserta didik dalam menyelesaikan proses belajar dapat berupa keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran, strategi pembelajaran, keragaman model pembelajaran, bimbingan pengalaman dari pembelajar, fasilitas belajar, dan iklim belajar peserta didik dari orang tua di rumah dan pembelajar di sekolah. Dukungan belajar yang dimaksud di sini adalah dukungan yang bersifat konkrit dan abstrak sehingga tercipta kebermaknaan proses belajar peserta didik. Di samping penguasaan materi, pembelajar juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam. Apabila konsep pembelajaran tersebut dipahami oleh para pembelajar, maka upaya mendesain pembelajaran bukan menjadi beban, tetapi menjadi pekerjaan yang menantang.
Menurut Gasong (2007:1) ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi disekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing ZPD mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding, dengan semakin lama siswa semakin bertanggung jawab terhadap pembelajaran sendiri. Ringkasnya, menurut Vygotsky, siswa perlu belajar dan bekerja secara berkelompok sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan diperlukan bantuan guru terhadap siswa dalam kegiatan pembelajaran.






Secara umum, Gasong (2007: 1) mengemukakan langkah-langkah pembelajaran scaffolding dapat dilihat pada tabel berikut 2.1
Tabel 2.1 Langkah-langkah Pembelajaran Scaffolding Pembelajaran Strategi Scaffolding
a.       Menjelaskan materi pembelajaran.
b.      Menentukan Zone Of Proximal Development (ZPD) atau level perkembangan siswa berdasarkan tingkat kognitifnya dengan melihat nilai hasil belajar sebelumnya.
c.       Mengelompokkan siswa menurut ZPD-nya.
d.      Memberikan tugas belajar berupa soal-soal berjenjang yang berkaitan dengan materi pembelajaran.
e.       Mendorong siswa untuk bekerja dan belajar menyelesaikan soal-soal secara mandiri dengan berkelompok.
f.       Memberikan bantuan berupa bimbingan, motivasi, pemberian contoh, kata kunci atau hal lain yang dapat memancing siswa ke arah kemandirian belajar.
g.      Mengarahkan siswa yang memiliki ZPD yang tinggi untuk membantu siswa yang memilki ZPD yang rendah, menyimpulkan pelajaran dan memberikan tugas-tugas.
Teknik Scaffolding pertama kali diperkenalkan di akhir 1950-an oleh Jerome Bruner, seorang psikolog kognitif. Dia menggunakan istilah untuk menggambarkan anak-anak muda dalam akuisisi bahasa. Anak-anak pertama kali mulai belajar berbicara melalui bantuan orang tua mereka, secara naluriah anak-anak telah memiliki struktur untuk belajar barbahasa.
Scaffolding merupakan interaksi antara orang-orang dewasa dan anak-anak yang memungkinkan anak-anak untuk melaksanakan sesuatu di luar usaha mandiri-nya. Secara sederhana, pembelajaran scaffolding dapat diartikan sebagai suatu teknik pemberian dukungan belajar secara terstruktur, yang dilakukan pada tahap awal untuk mendorong siswa agar dapat belajar secara mandiri. Pemberian dukungan belajar ini tidak dilakukan secara terus menerus, tetapi seiring dengan terjadinya peningkatan kemampuan siswa, secara berangsur-angsur guru harus mengurangi dan melepaskan siswa untuk belajar secara mandiri. Jika siswa belum mampu mencapai kemandirian dalam belajarnya, guru kembali ke sistem dukungan untuk membantu siswa memperoleh kemajuan sampai mereka benar-benar mampu mencapai kemandirian. Dengan demikian, esensi dan prinsip kerjanya tampaknya tidak jauh berbeda dengan scaffolding dalam konteks mendirikan sebuah bangunan.
Pembelajaran Scaffolding sebagai sebuah teknik bantuan belajar (assisted-learning) dapat dilakukan pada saat siswa merencanakan, melaksanakan dan merefleksi tugas-tugas belajarnya.
Istilah scaffolding digunakan pertama kali oleh Wood dengan pengertian dukungan pengajar kepada peserta didik untuk membantunya menyelesaikan proses belajar yang tidak dapat diselesaikannya sendiri. Pengertian dari Wood ini sejalan dengan pengertian ZPD (Zone of Proxmal Development) dari Vygotsky. Peserta didik yang banyak tergantung pada dukungan pembelajar untuk mendapatkan pemahaman berada di luar daerah ZPD-nya, sedang peserta didik yang bebas atau tidak tergantung dari dukungan pembelajar telah berada dalam daerah ZPD-nya. Konsep scaffolding berhubungan erat dengan konsep ZPD.
Menurut Horowitz yang dikutip oleh Jhon. W Santrock mengemukakan scaffolding sering kali digunakan untuk membantu siswa mencapai batas dari zona perkembangan proksimal mereka. Peserta didik yang banyak tergantung pada dukungan pembelajar untuk mendapatkan pemahaman berada di luar daerah ZPD-nya, sedang peserta didik yang bebas atau tidak tergantung dari dukungan pembelajar telah berada dalam daerah
ZPD-nya.
Menurut Cazden yang dikutip oleh Asri Budiningsih mendefinisikan scaffolding sebagai “kerangka kerja sementara untuk aktivitas dalam penyelesaian”. Scaffolding sebagai teknik mengubah level dukungan disepanjang jalannya sesi pengajaran, orang yang lebih ahli (guru atau teman sesama murid yang lebih pandai) menyesuaikan jumlah bimbingannya dengan kinerja murid.
Teknik Scaffolding sebagai bantuan yang besar kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut untuk mengerjakan pekerjaannya sendiri dan mengambil alih tanggung jawab pekerjaan itu. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah kedalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Pemberian intervensi atau bantuan oleh guru diberikan pada saat siswa sudah merasa sangat kesulitan, yakni ketika ia benar-benar berada di ujung kemampuan aktualnya. Dengan diberikan bantuan misalnya dengan contoh, diskusi, hints atau pertanyaan, siswa dapat menuju kemampuan potensialnya, dan jika anak telah sampai pada tingkat yang lebih sulit lagi, maka bantuan pun dapat kembali diberikan begitu seterusnya. Sehingga siswa tidak akan merasa terganggu dan merasa diabaikan.
Keuntungan pembelajaran Scaffolding, yaitu:
a.       Memotivasi dan mengaitkan minat siswa dengan tugas belajar.
b.      Menyederhanakan tugas belajar sehingga bisa lebih terkelola dan bisa dicapai oleh siswa.
c.       Memberi petunjuk untuk membantu anak berfokus pada pencapaian tujuan.
d.      Secara jelas menunjukkan perbedaan antara pekerjaan anak dan solusi standar atau yang diharapkan.
e.       Mengurangi frustasi atau resiko.
f.       Memberi model dan mendefenisikan dengan jelas harapan mengenai aktivitas yang akan dilakukan.
Kelemahan dalam pembelajaran dengan teknik scaffolding yaitu:
a.       Susah mengontrol siswa khususnya siswa yang memiliki taraf kemampuan rendah, dikarenakan jumlah siswa di dalam kelas lebih dari 30 siswa.
b.      Penelitian dilakukan pada semester pertama dan siswa belum memiliki buku pegangan.
Adapun solusi yang dapat membantu mengatasi kelemahan kelemahan di atas adalah:
a.       Peneliti meminta kepada siswa lain yang memiliki taraf kemampuan tinggi untuk membantu siswanya yang kurang paham.
b.      Peneliti membuatkan LKS soal-soal untuk siswa.
Secara operasional, menurut Depdiknas yang dikutip oleh Ratnawati menetapkan teknik pembelajaran scaffolding dapat ditempuh melalui tahapan-tahapan kegiatan sebagai berikut:
a.       Assemen kemampuan dan taraf perkembangan setiap siswa untuk menentukan Zone of Proximal Development (ZPD).
b.      Menjabarkan tugas representasi matematis ke dalam tahap-tahap yang rinci sehingga dapat membantu siswa melihat zona yang akan diskafold.
c.       Menyajikan tugas belajar secara berjenjang sesuai taraf perkembangan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui penjelasan, peringatan, dorongan (motivasi), penguraian masalah ke dalam langkah pemecahan, dan pemberian contoh (modelling).
d.      Mendorong siswa untuk menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.
e.       Memberikan dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci, tanda mata (reminders), dorongan, contoh atau hal lain yang dapat memancing siswa bergerak ke arah kemandirian belajar dalam pengarahan diri.
IMPLEMENTASI ZPD DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Berdasarkan teori Zone of Proximal Development dari Vygotsky serta teori scaffolding dari Bruner, proses perubahan dari tahapan perkembangan aktual ke perkembangan potensial bisa terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara individu dengan individu lain yang mempunyai kemampuan lebih. Oleh karena itu, guru memegang peranan penting dalam menciptakan suasana pembelajaran yang dapat menunjang peningkatan pemahaman siswa sehingga siswa mampu mencapai perkembangan potensialnya. Ketika siswa telah mampu mencapai perkembangan potensialnya, maka siswa tersebut telah mampu berpikir matematika tingkat tinggi.
Agar implementasi pembelajaran dapat mencapai hasil yang memuaskan, maka teori pembelajaran Vygotsky-Bruner yakni ZPD dan scaffolding perlu dijadikan sebagai landasan utama. Hal yang tak kalah penting, di dalam perencanaan guru perlu menyiapkan bahan ajar yang tepat dan relevan. Bahan ajar yang digunakan harus dirancang oleh guru ke dalam bentuk soal pemecahan masalah yang memungkinkan disajikan di awal pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Hoffman dan Ritchie (1997) (Lie, 2010) bahwa Scaffolding selalu digunakan untuk mendukung pembelajaran berbasis masalah (PBL).
Setelah guru menyiapkan perencanaan pembelajaran dengan matang, selanjutnya guru mulai mengatur pelaksanaan kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran sebagai berikut:
a.    Kegiatan Awal
1)   Guru mengkondisikan siswa untuk siap memulai pembelajaran
2)   Guru melakukan apersepsi dan memberikan motivasi kepada siswa
3)   Mengajukan suatu konteks permasalahan
b.    Kegiatan Inti
1)   Setelah siswa memahami konteks permasalahan, kemudian siswa diberi lembar kegiatan
2)   Pada 15 menit pertama siswa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan jawaban secara individual. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah permasalahan yang diajukan
3)   Kemudian ±25menit selanjutnya siswa diminta untuk menyelesaikan jawaban secara berkelompok heterogen (2-4 orang). Hal ini dimaksudkan agar anak dapat berinteraksi dan saling bertukar pemikiran. Secara tidak langsung dalam kegiatan ini intervensi dapat terjadi antara siswa dengan siswa lain di dalam satu kelompok. Disamping itu, guru juga dapat melakukan teknik scaffolding dengan tepat selama proses kegiatan.
4)   Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil pekerjaan mereka
c.    Kegiatan Akhir
1)   Guru bersama siswa menyimpulkan materi yang dipelajari
2)   Guru menutup pembelajaran
d.   Penilaian
Penilaian prestasi aspek kognitif dilakukan melalui pemberian pre tes dan pos tes yang harus dikerjakan oleh siswa pada awal tindakan dan akhir pelaksanaan tindakan. Penilaian prestasi belajar aspek afektif pada pembelajaran ini dapat dilihat dari kegiatan siswa ketika bekerja sama di dalam kelompok, keaktifan di dalam kelpmpok serta keberanian bertanya dan menjawab.
Sedangkan untuk penilaian prestasi belajar aspek psikomotorik pada pembelajaran ini dapat dilihat dari kemampuan siswa memasukkan rumus atau konsep matematika ke dalam penyelesaian masalah serta kemampuanya di dalam mengaplikasikan pengetahuan ke dalam kegiatan sehari-hari. Pada dasarnya penilaian ditujukan untuk melihat sampai dimana tingkat keberhasilan teknik scaffolding dalam meningkatkan perkembangan siswa dari perkembangan aktualnya ke perkembangan potensialnya. Sehingga ia mampu berpikir tingkat tinggi.

Tidak ada komentar: