DASAR
– DASAR PEMBELAJARAN MATEMATIKA
“ REACT, Zone Of Proximal Development
(ZPD) Dan Scaffolding”
Dosen
Eka Resti Wulan, M.Pd
Oleh
:
MOCH. LAILUL AFFANDI (131003275)
HERIS (1310032
)
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
( STKIP PGRI ) LUMAJANG
Jl.
Pisang Gajih 02 Telp. ( 0334 ) 882467 Lumajang
REACT
Di dalam proses pembelajaran,
munculnya kesulitan untuk memahami suatu konsep merupakan hal yang wajar. Ini
menggambarkan bahwa anak sedang melakukan proses berpikir. Mereka berusaha
untuk mengintegrasikan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah
dimilikinya. Skemata atau pengetahuan awal setiap siswa tidaklah sama sehingga
kesulitan yang dihadapi setiap anak pun tidaklah selalu sama. Sebagai seorang
guru atau orang yang membimbing mereka belajar, sebaiknya kita dapat mengenali
dan memahami kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh anak. Karena jika dibiarkan
kesulitan tersebut tidak lagi menjadi sebuah kewajaran, melainkan suatu masalah
yang dapat menghambat perkembangan intelektual anak.
Kondisi yang terjadi kini selain
karena konsep matematika itu bersifat abstrak, sebagian besar anak juga tidak
mampu menyelesaikan beberapa tahap yang tidak ia kuasai, semakin lama semakin
bertumpuk kemudian muncullah persepsi di dalam diri anak bahwa mata pelajaran
matematika itu sangat sulit. Nilai-nilai rendah yang diperoleh sebagian besar
siswa merupakan bukti nyata bahwa mata pelajaran matematika memang dirasakan
sulit. Ketika fenomena ini diketahui oleh orang tua atau guru-guru, mereka
sering menganggap bahwa nilai yang rendah tersebut merupakan dampak dari
kemalasan anak dalam belajar. Untuk
itu orang tua harus ekstra dalam mengawasi dan menjadi teman dalam kegiatan
belajarnya dan guru harus mempunyai kegiatan secara terprogram dalam desain instruksional,
untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan
sumber belajar.
Dalam
pembelajaran, terdapat model – model pembelajaran yang digunakan guru untuk
mencapai tujuan kurikulum pendidikan, salah satu model pembelajaran yang
membahas mengenai tingkat kesulitan anak serta konsep pemberian bantuan adalah
teori pembelajaran kontruktivisme dan model pembelajaran Relating, Experiencing,
Applying, Cooperating, dan Transferring (REACT) merupakan pengembangan dari teori pembelajaran
Kontekstual.
Model pembelajaran REACT adalah model pembelajaran
yang dapat membantu guru untuk menanamkan konsep pada siswa. Siswa diajak
menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya, bekerja sama, menerapkan konsep
tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan mentransfer dalam kondisi baru (Sri Rahayu
dalam Yuliati, 2008:60).
Berdasarkan hasil penelitian, model REACT
efektif meningkatkan kemampuan dan hasil belajar siswa. Hal didasarkan pada 5
kriteria yang menyatakan efektivitas model REACT. Kriteria efektivitas model REACT tersebut adalah:
·
Siswa
dapat mentransfer pengetahuan yang diperoleh di sekolah dalam kehidupan
sehari-hari dan dunia kerja
·
Siswa
tidak takut pada mata pelajaran matematika dan IPA (fisika, kimia, dan biologi)
·
Siswa
lebih tertarik dan termotivasi serta memiliki pemahaman yang lebih baik pada
materi yang diajarkan di sekolah karena pembelajaran dilaksanakan dengan
mengaktifkan siswa secara fisik dan mental
·
Materi
ajar yang diajarkan di sekolah memiliki koherensi dengan pendidikan yang lebih
tinggi (perguruan tinggi)
·
Hasil
belajar siswa yang diperoleh dengan REACT lebih baik daripada
pembelajaran tradisional.
Model pembelajaran REACT merupakan
pengembangan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan
terjemahan dari Contextual Teaching and Learning (CTL). Pembelajaran
kontekstual secara resmi diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 2001. Pada
tahun 2002 dilakukan uji coba di 31 SLTP/MTs yang tersebar di enam provinsi.
Dari hasil uji coba terindikasi pembelajaran kontekstual mampu meningkatkan interaksi
belajar di kelas, membuat siswa lebih termotivasi dalam belajar dan siswa lebih
bisa berpikir kritis. Oleh karena itu telah diambil kebijakan untuk meluaskan
penerapan pembelajaran kontekstual di seluruh Indonesia.
Langkah-langkah model pembelajaran REACT
tercermin dari akronimnya. Langkah-langkah tersebut adalah Relating, Experiencing,
Applying, Cooperating, dan Transferring. Sintaks
Pelaksanaan Model REACT ditunjukkan pada Tabel berikut
Tabel Sintaks Pelaksanaan Model REACT
Fase-Fase
|
Kegiatan
|
Relating
|
Guru
menghubungkan konsep yang dipelajari dengan materi pengetahuan yang dimiliki
siswa
|
Experiencing
|
Siswa
melakukan kegiatan eksperimen (hands-on activity) dan guru memberikan
penjelasan untuk mengarahkan siswa menemukan pengetahuan baru
|
Applying
|
Siswa
menerapkan pengetahuan yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari
|
Cooperating
|
Siswa
melakukan diskusi kelompok untuk memecahkan permasalahan dan mengembangkan
kemampuan berkolaborasi dengan teman
|
Transfering
|
Siswa
menunjukkan kemampuan terhadap pengetahuan yang dipelajarinya dan
menerapkannya dalam situasi dan konteks baru
|
1.
Relating
Belajar berdasarkan pengalaman dalam
kehidupan sehari-hari dan menghubungkannya dengan pembelajaran di sekolah
merupakan salah satu karakteristik pembelajaran kontekstual. Sebagai pengembang
REACT, CORD menyatakan bahwa relating
adalah bentuk belajar yang menghubungkan konsep yang dipelajarai dengan
materi pengetahuan yang dimiliki siswa dalam konteks kehidupan nyata atau
pengalaman nyata. Pembelajaran menjadi sarana untuk menghubungkan situasi
sehari-hari dengan informasi baru yang dipelajari.
2.
Experiencing
Experiencing, yaitu belajar melalui kegiatan exploration,
discovery, dan invention, merupakan hal yang utama dalam
pembelajaran kontekstual. Siswa dimotivasi dengan menggunakan berbagai metode
dan media pembelajaran. Proses belajar akan terjadi jika siswa dapat
menggunakan alat dan bahan serta bentuk media lainnya dalam pembelajaran aktif
(active learning)
3.
Applying
Penerapan konsep dan informasi dalam
konteks bermakna diperlukan siswa dalam kehidupan sehari-hari dan dunia kerja.
Pada pembelajaran kontekstual, penerapan konsep dilakukan pada kegiatan yang
bersifat skill. Siswa tidak sekedar mempelajari suatu teori-teori
tertentu saja, melainkan siswa juga dituntun untuk dapat menerapkan
konsep-konsep yang sudah dipelajarinya ke dalam konteks pemanfaatannya dalam
kehidupan nyata.
4.
Cooperating
Cooperating, yaitu belajar untuk berbagi
pengalaman, memberikan tanggapan dan berkomunikasi dengan siswa lain, merupakan
strategi pembelajaran dasar dalam pembelajaran kontekstual. Pengalaman bekerja
sama tidak hanya membantu siswa belajar materi ajar, tetapi juga membantu siswa
untuk selalu konsisten dengan kehidupan nyata. Kegiatan praktikum merupakan
kegiatan yang esensial yang mengembangkan kemampuan bekerjasama. Siswa bekerja
dengan siswa lain untuk melakukan kegiatan praktikum. Jumlah siswa yang
tergabung dalam kelompok tersebut biasanya terdiri dari 3-4 siswa. Keberhasilan
kegiatan praktikum dengan berkelompok membutuhkan pembagian tugas, observasi,
kesempatan mengemukakan pendapat, dan diskuis. Oleh karena itu, kualitas kerja
praktikum yang dilaksanakan secara berkelompok bergantung pada aktivitas dan
performansi anggota kelompok. Siswa harus dapat bekerja sama baik dalam
kelompok kecil maupun kelompok besar. Bekerja berpasangan atau kelompok kecil
(3-4 orang) merupakan strategi yang efektif untuk mendorong siswa bekerja sama
dalam tim.
5.
Transferring
Transferring pengetahuan dilakukan siswa
berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya. Guru dapat mengembangkan rasa
percaya diri siswa dengan membangun pengalaman belajar baru berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa. Transferring bisa
diwujudkan dalam bentuk pemecahan masalah dalam konteks dan situasi baru tetapi
masih terkait dengan materi yang dibahas.
Zone Of Proximal Development (ZPD)
Vygotsky mengemukakan konsepnya
tentang zona perkembangan proksimal (Zone
Of Proximal Development),
yiatu :
"the distance between the actual
developmental level as determined by independent problem solving and the level
of potential development as determined through problem solving under adult
guidance, or in collaboration with more capable peers " (Fauzi, 2009).
Menurutnya,
perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkat yaitu,
tingkat perkembangan aktual (independent performance) dan tingkat
perkembangan potensial (assisted performance) dengan Zone Of Proxmal
Development (ZPD). Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan
seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah
secara mandiri. Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan
seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di
bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebayanya
yang lebih berkompeten. Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan
aktual dan tingkat perkembangan potensial ini disebut zona perkembangan
proksimal atau yang kita kenal dengan Zone
of Proximal Development (ZPD).
Konsep Vygotsky
mengenai ZPD dikemukakan oleh Yustiana (2002, Saomah, 2011) digambarkan sebagai
berikut.
Level
of assisted performance
Difficulty
of
the tasks
Level of Independent Performance
Gambar 1.1 Zone of Proximal Development
Zona
perkembangan proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan
yang belum matang yang masih berada di dalam proses pematangan.
Kemampuan-kemampuan ini akan menjadi matang apabila berinteraksi dengan orang
dewasa atau berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih berkompeten.
Gagasan Vygotsky
tentang zona perkembangan proksimal ini mendasari perkembangan teori belajar
dan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas dan mengoptimalkan perkembangan kognitif
anak. Beberapa konsep kunci yang perlu dicatat adalah bahwa perkembangan dan
belajar bersifat saling terkait, perkembangan kemampuan seseorang tidak dapat
dipisahkan dari konteks sosial, dan sebagian bentuk fundamental dalam belajar
adalah partisipasi dalam kegiatan sosial.
Berpijak pada
konsep zona proksimal, maka sebelum terjadi internalisasi atau sebelum
kemampuan potensial terbentuk, anak perlu dibantu dalam proses belajarnya.
Orang dewasa atau teman sebaya yang lebih berkompeten perlu membantu dengan berbagai cara seperti
memberikan contoh, memberikan feedback, menarik
kesimpulan, diskusi, dan sebagainya dalam rangka perkembangan kemampuannya.
Vygotsky menjelaskan
bahwa proses belajar terjadi pada dua tahap:
Tahap
pertama terjadi pada saat berkolaborasi dengan orang lain, dan tahap berikutnya
dilakukan secara individual yang di dalamnya terjadi proses internalisasi.
Selama proses interaksi terjadi baik antara guru-siswa maupun antar siswa,
kemampuan yang perlu dikembangkan: saling menghargai, menguji kebenaran
pernyataan pihak lain, bernegoisasi, dan saling mengadopsi pendapat yang
berkembang.
Maksud
dari ZPD (Zone of Proximal Development) adalah menitikberatkan ZPD pada
interaksi sosial yang akan dapat memudahkan perkembangan anak. Artinya, ketika
siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri, perkembangan mereka
kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan perkembangan, siswa
seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat memimpin secara
sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui perubahan yang
berturut-turut dalam berbicara dan bersikap, siswa mendiskusikan pengertian
barunya dengan temannya kemudian mencocokkan dan mendalami kemudian
menggunakannya.
Scaffolding
Ide
penting lain dari Vygotsky adalah Scaffolding. Sebagian pakar pendidikan
mendefinisikan scaffolding berupa bimbingan yang diberikan oleh seorang
pembelajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan
terfokus dan interaksi yang bersifat positif.
Scaffolding
adalah pemberian sejumlah kemampuan oleh guru kepada anak pada tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada anak untuk
mengambil alih tanggung jawab saat mereka mampu. Kemampuan yang diberikan dapat
berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah
pemecahan, memberi contoh, ataupun hal-hal lain yang memungkinkan siswa tumbuh
sendiri. Dari situ dapat dilihat bahwa scaffolding merupakan bagian dari
kegiatan pembelajaran kooperatif.
Implikasi dari teori
Vygostky dalam pendidikan yaitu:
1.
Dikehendaki setting kelas berbentuk
pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di
sekitar tugas-tugas dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah
afektif dalam zona of proximal development.
2.
Dalam pengajaran ditekankan scaffolding
sehingga siswa semakin lama semakinbertanggung jawab terhadap pembelajarannya
sendiri.
Berdasarkan teori
Vygotsky akan diperoleh beberapa keuntungan:
1.
Anak memperoleh kesempatan yang luas
untuk mengembangkan zona perkembangan proximalnya atau potensinya melalui
belajar dan berkembang.
2.
Pembelajaran perlu lebih dikaitkan
dengan tingkat perkembangan potensialnya daripada tingkat perkembangan
aktualnya.
3.
Pembelajaran lebih diarahkan pada
penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada
kemampuan intramental.
4.
Anak diberi kesempatan yang luas untuk
mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan
pengetahuan prosedural yang dapat dilakukan untuk tugas-tugas atau pemecahan
masalah.
5.
Proses belajar dan pembelajaran tidak
bersifat transferal tetapi lebih merupakan kokonstruksi, yaitu proses
mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara bersama-sama antara semua
pihak yang terlibat di dalamnya.
Strategi
scaffolding didasarkan pada teori Vygotsky. Menurut Vygotsky dalam
Trianto (2010: 76) bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada
dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas tersebut berada dalam Zone of
Proximal Development (ZPD) yaitu perkembangan sedikit di atas
perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih
tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu,
sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu
tersebut.
Pendekatan
scaffolding perlu digunakan sebagai upaya peningkatan proses belajar
mengajar, sehingga siswa memiliki kemampuan dalam memahami konsep materi, sikap
positif juga keterampilan. Dalam pelaksanaan pembelajaran scaffolding,
siswa akan diberikan tugas kompleks, sulit dan pemberian bantuan kepada siswa
hanya pada tahap -tahap awal pembelajaran. Kemudian mengurangi bantuan dan
memberi kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar
setelah ia dapat melakukannya.
Menurut Ibrahim dan Nur
(2000: 19) Vigotsky meyakini bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu
terbentuknya ide baru dan mempercayai perkembangan intelektual siswa. Bruner
juga menggunakan konsep scaffolding adalah suatu proses untuk membantu
siswa menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui
bantuan guru, teman atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih.
Berdasarkan
pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa dukungan terhadap peserta didik dalam
menyelesaikan proses belajar dapat berupa keaktifan peserta didik dalam proses
pembelajaran, strategi pembelajaran, keragaman model pembelajaran, bimbingan
pengalaman dari pembelajar, fasilitas belajar, dan iklim belajar peserta didik
dari orang tua di rumah dan pembelajar di sekolah. Dukungan belajar yang
dimaksud di sini adalah dukungan yang bersifat konkrit dan abstrak sehingga
tercipta kebermaknaan proses belajar peserta didik. Di samping penguasaan
materi, pembelajar juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi
pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan
untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam. Apabila konsep
pembelajaran tersebut dipahami oleh para pembelajar, maka upaya mendesain
pembelajaran bukan menjadi beban, tetapi menjadi pekerjaan yang menantang.
Menurut
Gasong (2007:1) ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan.
Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif antar
siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi disekitar tugas-tugas yang sulit dan
saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam
masing-masing ZPD mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran
menekankan scaffolding, dengan semakin lama siswa semakin bertanggung
jawab terhadap pembelajaran sendiri. Ringkasnya, menurut Vygotsky, siswa perlu
belajar dan bekerja secara berkelompok sehingga siswa dapat saling berinteraksi
dan diperlukan bantuan guru terhadap siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Secara umum, Gasong (2007: 1) mengemukakan
langkah-langkah pembelajaran scaffolding dapat dilihat pada tabel
berikut 2.1
Tabel 2.1 Langkah-langkah Pembelajaran Scaffolding
Pembelajaran Strategi Scaffolding
a. Menjelaskan
materi pembelajaran.
b. Menentukan
Zone Of Proximal Development (ZPD) atau level perkembangan siswa
berdasarkan tingkat kognitifnya dengan melihat nilai hasil belajar sebelumnya.
c. Mengelompokkan
siswa menurut ZPD-nya.
d. Memberikan
tugas belajar berupa soal-soal berjenjang yang berkaitan dengan materi
pembelajaran.
e. Mendorong
siswa untuk bekerja dan belajar menyelesaikan soal-soal secara mandiri dengan
berkelompok.
f. Memberikan
bantuan berupa bimbingan, motivasi, pemberian contoh, kata kunci atau hal lain
yang dapat memancing siswa ke arah kemandirian belajar.
g. Mengarahkan
siswa yang memiliki ZPD yang tinggi untuk membantu siswa yang memilki ZPD
yang rendah, menyimpulkan pelajaran dan memberikan tugas-tugas.
Teknik Scaffolding pertama kali
diperkenalkan di akhir 1950-an oleh Jerome Bruner, seorang psikolog kognitif.
Dia menggunakan istilah untuk menggambarkan anak-anak muda dalam akuisisi
bahasa. Anak-anak pertama kali mulai belajar berbicara melalui bantuan orang
tua mereka, secara naluriah anak-anak telah memiliki struktur untuk belajar
barbahasa.
Scaffolding merupakan interaksi
antara orang-orang dewasa dan anak-anak yang memungkinkan anak-anak untuk
melaksanakan sesuatu di luar usaha mandiri-nya. Secara sederhana, pembelajaran
scaffolding dapat diartikan sebagai suatu teknik pemberian dukungan belajar
secara terstruktur, yang dilakukan pada tahap awal untuk mendorong siswa agar
dapat belajar secara mandiri. Pemberian dukungan belajar ini tidak dilakukan
secara terus menerus, tetapi seiring dengan terjadinya peningkatan kemampuan
siswa, secara berangsur-angsur guru harus mengurangi dan melepaskan siswa untuk
belajar secara mandiri. Jika siswa belum mampu mencapai kemandirian dalam
belajarnya, guru kembali ke sistem dukungan untuk membantu siswa memperoleh
kemajuan sampai mereka benar-benar mampu mencapai kemandirian. Dengan demikian,
esensi dan prinsip kerjanya tampaknya tidak jauh berbeda dengan scaffolding dalam
konteks mendirikan sebuah bangunan.
Pembelajaran Scaffolding sebagai
sebuah teknik bantuan belajar (assisted-learning) dapat dilakukan pada
saat siswa merencanakan, melaksanakan dan merefleksi tugas-tugas belajarnya.
Istilah scaffolding digunakan
pertama kali oleh Wood dengan pengertian dukungan pengajar kepada peserta didik
untuk membantunya menyelesaikan proses belajar yang tidak dapat diselesaikannya
sendiri. Pengertian dari Wood ini sejalan dengan pengertian ZPD (Zone
of Proxmal Development) dari Vygotsky. Peserta didik yang banyak tergantung
pada dukungan pembelajar untuk mendapatkan pemahaman berada di luar daerah ZPD-nya,
sedang peserta didik yang bebas atau tidak tergantung dari dukungan pembelajar
telah berada dalam daerah ZPD-nya. Konsep scaffolding berhubungan
erat dengan konsep ZPD.
Menurut Horowitz yang dikutip oleh Jhon.
W Santrock mengemukakan scaffolding sering kali digunakan untuk membantu
siswa mencapai batas dari zona perkembangan proksimal mereka. Peserta didik
yang banyak tergantung pada dukungan pembelajar untuk mendapatkan pemahaman
berada di luar daerah ZPD-nya, sedang peserta didik yang bebas atau
tidak tergantung dari dukungan pembelajar telah berada dalam daerah
ZPD-nya.
Menurut Cazden yang
dikutip oleh Asri Budiningsih mendefinisikan scaffolding sebagai
“kerangka kerja sementara untuk aktivitas dalam penyelesaian”. Scaffolding sebagai
teknik mengubah level dukungan disepanjang jalannya sesi pengajaran, orang yang
lebih ahli (guru atau teman sesama murid yang lebih pandai) menyesuaikan jumlah
bimbingannya dengan kinerja murid.
Teknik Scaffolding sebagai
bantuan yang besar kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan
kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak
tersebut untuk mengerjakan pekerjaannya sendiri dan mengambil alih tanggung
jawab pekerjaan itu. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan, menguraikan masalah kedalam bentuk lain yang memungkinkan
siswa dapat mandiri.
Pemberian intervensi
atau bantuan oleh guru diberikan pada saat siswa sudah merasa sangat kesulitan,
yakni ketika ia benar-benar berada di ujung kemampuan aktualnya. Dengan
diberikan bantuan misalnya dengan contoh, diskusi, hints atau
pertanyaan, siswa dapat menuju kemampuan potensialnya, dan jika anak telah
sampai pada tingkat yang lebih sulit lagi, maka bantuan pun dapat kembali
diberikan begitu seterusnya. Sehingga siswa tidak akan merasa terganggu dan
merasa diabaikan.
Keuntungan pembelajaran
Scaffolding, yaitu:
a. Memotivasi
dan mengaitkan minat siswa dengan tugas belajar.
b. Menyederhanakan
tugas belajar sehingga bisa lebih terkelola dan bisa dicapai oleh siswa.
c. Memberi
petunjuk untuk membantu anak berfokus pada pencapaian tujuan.
d. Secara
jelas menunjukkan perbedaan antara pekerjaan anak dan solusi standar atau yang
diharapkan.
e. Mengurangi
frustasi atau resiko.
f. Memberi
model dan mendefenisikan dengan jelas harapan mengenai aktivitas yang akan
dilakukan.
Kelemahan dalam pembelajaran dengan
teknik scaffolding yaitu:
a. Susah
mengontrol siswa khususnya siswa yang memiliki taraf kemampuan rendah,
dikarenakan jumlah siswa di dalam kelas lebih dari 30 siswa.
b. Penelitian
dilakukan pada semester pertama dan siswa belum memiliki buku pegangan.
Adapun
solusi yang dapat membantu mengatasi kelemahan kelemahan di atas adalah:
a. Peneliti
meminta kepada siswa lain yang memiliki taraf kemampuan tinggi untuk membantu
siswanya yang kurang paham.
b. Peneliti
membuatkan LKS soal-soal untuk siswa.
Secara operasional,
menurut Depdiknas yang dikutip oleh Ratnawati menetapkan teknik pembelajaran scaffolding
dapat ditempuh melalui tahapan-tahapan kegiatan sebagai berikut:
a. Assemen
kemampuan dan taraf perkembangan setiap siswa untuk menentukan Zone of Proximal
Development (ZPD).
b. Menjabarkan
tugas representasi matematis ke dalam tahap-tahap yang rinci sehingga dapat
membantu siswa melihat zona yang akan diskafold.
c. Menyajikan
tugas belajar secara berjenjang sesuai taraf perkembangan siswa. Ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui penjelasan, peringatan, dorongan
(motivasi), penguraian masalah ke dalam langkah pemecahan, dan pemberian contoh
(modelling).
d. Mendorong
siswa untuk menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.
e. Memberikan
dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci, tanda mata (reminders),
dorongan, contoh atau hal lain yang dapat memancing siswa bergerak ke arah
kemandirian belajar dalam pengarahan diri.
IMPLEMENTASI
ZPD DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Berdasarkan teori Zone
of Proximal Development dari Vygotsky serta teori scaffolding dari Bruner, proses perubahan dari tahapan perkembangan
aktual ke perkembangan potensial bisa terjadi sebagai akibat adanya interaksi
antara individu dengan individu lain yang mempunyai kemampuan lebih. Oleh
karena itu, guru memegang peranan penting dalam menciptakan suasana
pembelajaran yang dapat menunjang peningkatan pemahaman siswa sehingga siswa
mampu mencapai perkembangan potensialnya. Ketika siswa telah mampu mencapai
perkembangan potensialnya, maka siswa tersebut telah mampu berpikir matematika
tingkat tinggi.
Agar implementasi
pembelajaran dapat mencapai hasil yang memuaskan, maka teori pembelajaran
Vygotsky-Bruner yakni ZPD dan scaffolding perlu dijadikan sebagai
landasan utama. Hal yang tak kalah penting, di dalam perencanaan guru perlu
menyiapkan bahan ajar yang tepat dan relevan. Bahan ajar yang digunakan harus
dirancang oleh guru ke dalam bentuk soal pemecahan masalah yang memungkinkan
disajikan di awal pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Hoffman
dan Ritchie (1997) (Lie, 2010) bahwa
Scaffolding
selalu digunakan untuk mendukung pembelajaran berbasis masalah (PBL).
Setelah guru menyiapkan
perencanaan pembelajaran dengan matang, selanjutnya guru mulai mengatur pelaksanaan
kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran
sebagai berikut:
a.
Kegiatan Awal
1)
Guru mengkondisikan siswa untuk siap
memulai pembelajaran
2)
Guru melakukan apersepsi dan memberikan
motivasi kepada siswa
3)
Mengajukan suatu konteks permasalahan
b.
Kegiatan Inti
1)
Setelah siswa memahami konteks
permasalahan, kemudian siswa diberi lembar kegiatan
2)
Pada 15 menit pertama siswa diberikan
kesempatan untuk menyelesaikan jawaban secara individual. Hal ini dimaksudkan
agar siswa dapat menelaah permasalahan yang diajukan
3)
Kemudian ±25menit selanjutnya siswa
diminta untuk menyelesaikan jawaban secara berkelompok heterogen (2-4 orang).
Hal ini dimaksudkan agar anak dapat berinteraksi dan saling bertukar pemikiran.
Secara tidak langsung dalam kegiatan ini intervensi dapat terjadi antara siswa
dengan siswa lain di dalam satu kelompok. Disamping itu, guru juga dapat
melakukan teknik scaffolding dengan
tepat selama proses kegiatan.
4)
Perwakilan kelompok mempresentasikan
hasil pekerjaan mereka
c.
Kegiatan Akhir
1)
Guru bersama siswa menyimpulkan materi
yang dipelajari
2)
Guru menutup pembelajaran
d.
Penilaian
Penilaian
prestasi aspek kognitif dilakukan melalui pemberian pre tes dan pos tes yang
harus dikerjakan oleh siswa pada awal tindakan dan akhir pelaksanaan tindakan.
Penilaian prestasi belajar aspek afektif pada pembelajaran ini dapat dilihat
dari kegiatan siswa ketika bekerja sama di dalam kelompok, keaktifan di dalam
kelpmpok serta keberanian bertanya dan menjawab.
Sedangkan
untuk penilaian prestasi belajar aspek psikomotorik pada pembelajaran ini dapat
dilihat dari kemampuan siswa memasukkan rumus atau konsep matematika ke dalam
penyelesaian masalah serta kemampuanya di dalam mengaplikasikan pengetahuan ke
dalam kegiatan sehari-hari. Pada dasarnya penilaian ditujukan untuk melihat
sampai dimana tingkat keberhasilan teknik scaffolding
dalam meningkatkan perkembangan siswa dari perkembangan aktualnya ke
perkembangan potensialnya. Sehingga ia mampu berpikir tingkat tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar